ads
Friday, January 3, 2014

January 03, 2014
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani merupakan sosok yang sangat arif, cerdas, dan bijaksana. Saat muda, ia adalah seorang yang sangat jenius, cerdas, dan gemar menuntut ilmu. Saat itu ia berkawan dekat dengan cendekiawan bernama Ibnu as-Saqa dan Abu Said Abdullah bin Abi ‘Ushrun.

Suatu hari, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani bersama kedua temannya sepakat untuk mengunjungi seorang alim bernama Syaikh Yusuf al-Hamdani[1] di pinggiran kota Baghdad. Sebelum berangkat, Ibnu as-Saqa dan Ibnu Abi ‘Ushrun berdiskusi mengenai tujuan mereka berkunjung kepada Syaikh Yusuf al-Hamdani.

“Aku akan menanyakan persoalan yang susah sehingga ia akan kebingungan dan tidak bisa menjawab,” kata Ibnu as-Saqa.

“Sedangkan aku akan mengajukan pertannyaan ilmiah, agar aku bisa melihat seperti apa kealimannya dan apa jawabannya,” ucap Ibn Abi ‘Ushrun.[2]

Begitulah tujuan mereka berdua. Lalu, bagaimana dengan Abdul Qadir muda? Apa tujuannnya berkunjung kepada Syaikh Yusuf al-Hamdani? “Aku berlindung kepada Allah dari mempertannyakan permasalahan yang sedemikian. Aku hanya ingin bersilaturahim kepada beliau sehingga mendapatkan barakah (bertambahnya kebaikan dari) beliau,” kata Abdul Qadir muda.

Kemudian berangkatlah tiga shahabat ini ke rumah Syaikh Yusuf al-Hamdani. Sesampai di rumah Syaikh Yusuf, mereka bertiga memasuki majelis beliau dan duduk dengan tenang. Syaikh Yusuf memandang Ibnu as-Saqa lalu berkata, “Wahai Ibnu as-Saqa, kamu berkunjung kemari untuk mengujiku dengan pertanyaan itu. Jawabnya adalah begini.” Syaikh Yusuf lalu mengurai jawabannya secara lengkap dan gamblang. Ia kemudian berkata kepada Ibnu as-Saqa, “Aku melihat api kekufuran menyala-nyala di antara tulang-tulang rusukmu.”

Selanjutnya Syaikh Yusuf menatap Ibnu Abi ‘Ushrun sambil berkata, “Sedangkan kamu, hai Ibnu Abi ‘Ushrun, kamu kemari dengan tujuan menanyakan permasaalahan ilmiah, jawabannya adalah begini.” Syaikh Yusuf lalu menjelaskan jawabannya secara detail, lengkap, dan ilmiah. Ia lalu berkata kepada Ibnu Abi ‘Ushrun, “Aku melihat dunia mengejarmu.” [3]

Lalu Syaikh Yusuf  berkata kepada Abdul Qadir muda, “Aku memohonkan ridha dari Allah dan Rasul untukmu sebab adabmu yang baik. Aku melihat kelak engkau akan mendapat kedudukan di Baghdad dan memberi petunjuk kepada manusia. Aku melihat bahwa kelak kamu akan berkata, ‘Kedua kakiku ini berada di atas pundak/leher setiap para wali.’”

Akhir Hayat Ibnu as-Saqa
Mereka bertiga kemudian keluar dari rumah Syaikh Yusuf. Beberapa tahun pun berlalu. Masing-masing sibuk dengan aktivitasnya. Ibnu as-Saqa sibuk belajar sehingga ia menjadi cendekiawan hebat dan terkenal sebagai ahli debat. Tidak terhitung sudah berapa orang yang telah ia kalahkan dalam berdebat.

Selain sebagai ahli debat, Ibnu as-Saqa juga seorang qurra’ (ahli baca al-Qur’an) yang hafal al-Qur’an. Namun sayangnya, pada kemudian hari, Ibnu as-Saqa justru berpindah agama menjadi Nasrani hingga ia meninggal dunia. Na’udzubillah min dzalik, Ibnu as-Saqa meninggal dalam keadaan su’ul khatimah.

Peristiwa kemurtadan Ibnu as-Saqa ini bermula ketika ia bepergian ke Romawi sebagai utusan Khalifah. Setiba di Romawi, ternyata ia terpikat oleh keelokan putri raja Romawi. Akhirnya, ia mengutarakan keinginannya untuk mempersunting putri tersebut. Namun, sang putri tidak mau menikah dengannya, kecuali jika Ibnu as-Saqa mau memeluk agama Nasrani. Singkat cerita, Ibnu as-Saqa pun memeluk agama Nasrani.
Mendekati akhir hayatnya, Ibnu as-Saqa menderita sakit cukup parah. Tangannya memegang kipas untuk menghalau lalat di wajahnya. Saat ditanya tentang hafalan al-Qur’an, ia menjawab bahwa dirinya telah lupa, kecuali satu ayat yang masih teringat dalam kepalanya, yaitu:

رُبَمَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ كَانُوا مُسْلِمِينَ

“Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim.” (Q.S. al-Hijr: 2)


Bagaimana Nasib Ibnu Abi ‘Ushrun dan Syaikh Abdul Qadir?

Ibnu Abi ‘Ushrun berhijrah ke Dimasyqa (Damaskus). Di sana ia ditugaskan oleh Sultan as-Shalih Nuruddin asy-Syahid untuk mengurusi wakaf dan sedekah. Sayangnya, kilauan dunia selalu datang menggodanya sehingga ia jatuh dalam pelukan gemerlap duniawi. “Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Syaikh Yusuf tentangku,” batin pilu Ibnu Abi ‘Ushrun.

Adapun Syaikh Abdul Qadir, kedudukannya terus menjulang tinggi di sisi Allah, juga di sisi manusia, sehingga sampai suatu hari ia pun berkata, “Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Syaikh Yusuf, Kedua kakiku berada di atas pundak/leher setiap wali.”

*] Semoga kita bisa memetik ibrah atau pelajaran penting dari kisah Ibnu as-Saqa, Ibnu Abi ‘Ushrun, dan Syaikh Abdul Qadir ini sehingga kita dikaruniai nikmat ilmu, amal, keshalihan, akhlak yang mulia, kerendahan hati, serta akhir hidup yang husnul khatimah. Amin. 

Sumber tulisan: 


Sumber gambar: 



[1] Beliau Abu Ya’qub Yusuf bin Ayyub bin Yusuf bin al-Husain al-Hamdani. Lahir pada 440H, dan wafat pada 535H.

[2] Dalam versi yang lain, sebagaimana ditulis oleh KH. Ahmad Wafi Maimun Z dalam http://ppalanwar.com mengutip dari kitab al-Bahjah Ibnu ‘Imad, ucapan Ibnu Abi ‘Ushrun adalah: “Aku pernah mendengar kabar bahwa Syaikh Yusuf adalah orang yang sering terkabul doanya. Maka, kedatanganku kali ini sebenarnya ingin meminta beliau untuk mendoakanku agar memperoleh harta yang melimpah ruah.”

-   [3] Dalam versi yang lain, sebagaimana ditulis oleh KH. Ahmad Wafi Maimun Z dalam http://ppalanwar.com mengutip dari kitab al-Bahjah Ibnu ‘Imad, ucapan Syaikh Yusuf al-Hamdani kepada Ibnu Abi ‘Ushrun adalah: “Engkau akan memperoleh harta yang kauinginkan.”


0 comments: