ads
Friday, November 1, 2013

November 01, 2013
4

“Istriku, sekarang malam apa ya?” tanya sang suami pura-pura lupa.

“Malam Jum’at, Suamiku,” jawab sang istri. “Memangnya ada apa dengan malam Jum’at?” lanjutnya.

“Ah, masak kagak tahu. Sunnah rasul… sunnah rasul…!” ucap sang suami sambil mengedip-kedipkan sebelah matanya. Padahal si suami tidak sedang kelilipan lho. “Pahalanya buesar banget lho. Ada dalilnya lho, istriku.”

Sang suami lalu menyebut sepenggal kalimat yang menurutnya itu adalah dalil hadits Nabi. “Barangsiapa melakukan hubungan suami isteri di malam Jumat (kamis malam) maka pahalanya sama dengan membunuh 100 Yahudi. Dalil lain menyebutkan sama dengan membunuh 1.000 atau 7.000 Yahudi.”

Demi membahagiakan suami, apalagi suaminya menyitir sebuah dalil, maka sang istri memenuhi keinginan suaminya untuk berhubungan badan pada malam itu.

Malam Jum’at berikutnya, sang suami kembali merajuk. Lagi-lagi demi membahagiakan suami, sang istri sejenak melupakan kepenatannya setelah seharian bekerja. Ia ikuti langkah riang sang suami menuju kamar tidur. Mereka kembali berhubungan badan, dan sang suami masih tetap berkeyakinan bahwa yang ia lakukan adalah berdasar hadits Nabi di atas.

Begitu terus-menerus sang suami mengukuhi “dalil” di atas. Setiap malam Jum’at pun sang suami selalu mengerlingkan dan mengedipkan mata untuk meminta jatah spesial pada malam keramat. “Istriku, ayo kita bunuh lagi 100 Yahudi!” ajak sang suami. Selelah apa pun, sang istri selalu menuruti keinginan suaminya.

Suatu ketika, giliran sang istri yang berhasrat sekali melakukan hubungan suami-istri. Tetapi, kali ini justru suaminya yang tampak ogah-ogahan. Ia tidak lagi berdigdaya seperti malam-malam sebelumnya. Tampaknya kali ini ia sangat amat kelelahan sekali. Tetapi, demi “dalil” yang sering diajukan oleh suaminya, sang istri pun memberanikan diri meminta “jatah malam sakral”.

“Suamiku, ayo dong kita bunuh lagi 100 Yahudi!” ucap sang istri menirukan kebiasaan suaminya.

Dengan lemah dan ogah-ogahan sang suami menjawab, “Sudahlah, istriku, kita tidak usah berambisi lagi ‘membunuh Yahudi’. Yahudinya sudah mati semua! Tidak ada lagi yang tersisa.”

Gubrakkkkkkksssss….!!!

***

Fragmen di atas hanyalah anekdot. Sekadar rekaan. Dari cerita tersebut, ada beberapa hal yang harus kita luruskan.


  1. Menyebut “sunnah rasul” sebagai pengganti dari penyebutan aktivitas biologis suami-istri merupakan kesalahan besar, bahkan bisa jadi merendahkan kemuliaan sunnah Rasulullah Saw. Sebagaimana didefinisikan oleh para ulama, sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh, serta akhlak sebagai tasyri’ (pensyariatan) bagi umat Islam. Jadi, terang sekali bahwa sunnah Rasul itu sangat amat banyak dan luas. Bukan sesempit arti seperti yang dipahami oleh sang suami dalam fragmen di atas. Tetapi, meliputi apa pun; shalat, puasa, dzikir dan doa, membaca shalawat, muamalah, akhlak, dan sebagainya. Nah, mulai sekarang jangan lagi kita menjadikan kata “sunnah rasul” sebagai olokan dengan menyempitkan artinya sebatas hubungan biologis ya. Demi kemuliaan sunnah Nabi Saw.
  2. “Barangsiapa melakukan hubungan suami isteri di malam Jumat (kamis malam) maka pahalanya sama dengan membunuh 100 Yahudi.” Menurut penelitian Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, imam besar Masjid Istiqlal Jakarta, ini bukanlah hadits. Beliau tidak menjumpai satu pun kitab yang menulis hadits tersebut, baik di kumpulan hadits dha’if, apalagi di kitab-kitab hadits shahih. Simpulan beliau, ini hanyalah hadits maudhu’ (palsu) alias bukan hadits. Karenanya beliau mengimbau para ustadz agar tidak latah menjadikan ungkapan yang tidak jelas sumbernya tersebut sebagai dalil.

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw telah bersabda:

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Al-Mughirah juga berkata bahwa dia mendengar Rasulullah Saw bersabda:

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta atas nama orang lain. Karena barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


4 comments:

Yayack Faqih said...

terimakasih buat pencerahanya, saya jadi tahu skrg heheee

Mas Mur said...

Betul2 Om, sangat parang kalok dalil disalah gunakan, terkesan sebagai bahan "guyonan" malah.... Makasih Om, jadi tahu kalau ternyata itu bukan Hadits.. :)

Irham Sya'roni said...

Terima kasih kembali, Mas.

Irham Sya'roni said...

Makasih kembali, Mas Eko. Eh, blognya skrg hijrah ke wordpress ya? :)