ads
Monday, September 16, 2013

September 16, 2013
8
Janganlah kita merasa paling shalih dan paling benar, atau bahkan satu-satunya yang benar!

Pernahkah Anda menjumpai seseorang yang selesai shalat langsung ngacir, tidak ikut membaca wirid/dzikir? Bagaimana Anda menyikapi orang tersebut?

Mungkin ada yang biasa-biasa saja menanggapinya. Mungkin ada pula yang memakluminya. Tetapi, mungkin ada juga yang menghujatnya, atau bahkan dengan penuh emosi melabelinya dengan label buruk ini: "Man laisa lahul-wird, fahuwa kal-qird (siapa yang tidak mempunyai wirid [dzikir setelah shalat], maka dia seperti monyet)."

Duh, kejam dan keji sekali saudara seiman dan seislam kok disebut monyet! Sebutan atau label buruk yang diberikan kepada orang lain biasanya muncul dari diri yang merasa paling benar dan suci. Oleh karena dia merasa paling baik, paling benar, dan paling shalih, maka siapa pun yang tidak melakukan wiridan/dzikir setelah shalat seperti dirinya ditudinglah sebagai monyet. Na'udzubillah...!

Sobat blogger tentu mafhum, "merasa paling shalih" itu jelas berbeda dengan "benar-benar shalih". Orang yang merasa pintar, sejatinya tidaklah pintar. Karena itulah dia butuh pengakuan dari orang lain agar disebut pintar. Begitu pula orang yang merasa kaya, merasa ganteng, merasa cantik, dan lain-lain, sejatinya butuh pengakuan dari orang lain agar disebut kaya, ganteng, dan cantik. Begitulah orang yang merasa shalih, sejatinya dia belum benar-benar shalih. Agar bisa disebut shalih, maka dia lakukan banyak hal --yang kadang justru tidak mencerminkan kesalehan-- agar diakui paling shalih oleh orang lain.


Kejam dan Keji?

Memberi julukan qird (monyet) kepada orang yang tidak mau melakukan wirid termasuk perbuatan kejam dan keji?
Iya! Itu benar-benar perbuatan yang sangat kejam dan keji! Bagaimana tidak? Bukankah orang yang tidak wiridan atau tidak berdzikir (setelah shalat), dia tetap melaksanakan SHALAT? Dia hanya meninggalkan wiridannya; meninggalkan dzikir setelah shalat. Bukan meninggalkan shakatnya! Jadi, masih pantaskah kita menyebut orang yang sudah ikhlas mendirikan shalat sebagai monyet hanya karena dia tidak wiridan/berdzikir setelah shalat?

Tidak bisakah kita ber-husnuzhan mungkin dia terburu-buru keluar dari masjid setelah shalat karena ada hal lain yang sangat amat penting. Menjaga ibunya yang sakit, misalnya. Atau, husnuzhan-husnuzhan yang lain. Toh, untuk wiridan atau berdzikir tidak mewajibkan dia tetap duduk di dalam masjid. Bisa di rumah, di kantor, bahkan sambil berjalan atau mengendarai kendaraan.
Perbedaan Furu'iyah
Sekarang ini memang ada kecenderungan orang-orang yang merasa sudah sangat shalih atau merasa paling shalih begitu mudah memvonis orang lain sebagai orang yang tidak shalih atau bahkan sesat. Cobalah kita cermati sungguh-sungguh, yang membuat mereka menghujat dan memvonis orang lain itu sejatinya kan sebatas perkara-perkara furu'iyah (bukan perkara yang prinsip, pokok, ushuliyah).

Wiridan/dzikir=sunnah.
Shalat rawatib, shalat tahiyatul masjid, shalat pada awal waktu=sunnah/afdhal.
Shalat dhuha dan tahajud=sunnah. 
Shalat Tarawih=sunnah.
Berjubah dan bersurban= tidak wajib.
Berjamaah di masjid=sunnah.
Berjenggot=bukan kewajiban mutlak.
Berziarah ke makam=boleh.
Ihda'uts-tsawab (menghadiahkan pahala)=khilaf.
(berdasarkan forum mudzakarah debat NU vs Salafi [Buya Yahya Cirebon vs Prof. Salim Bajri]). 

Apakah orang yang meninggalkan atau melaksanakan perkara-perkara itu berdosa dan sesat? Tentu tidak, bukan? Kita disebut berdosa apabila meninggalkan perkara-perkara yang disepakati akan kewajibannya, atau apabila melakukan perkara yang disepakati keharamannya oleh agama. 

Termasuk juga berdosa adalah merasa diri paling benar, sombong, arogan, melakukan kekerasan/kezaliman kepada orang lain, dsb. Jadi, untuk apa kita terlampau sibuk saling mengejek, menghujat, atau bahkan memvonis orang lain "tidak shalih", "sesat", dan vonis-vonis buruk lainnya? Bukankah perbedaan yang selalu diungkit itu hanyalah perkara ijtihadiyah dan furu'iyah?

Tidak ingatkah kita, Kawan, bahwa selama di antara kita bersyahadat, mendirikan shalat fardhu, berkiblat ke Ka'bah, berkitab suci al-Qur'an, berasul akhir Muhammad, berpuasa Ramadhan, berhaji ke Baitullah, dst, berarti mereka adalah saudara seiman dan seislam dengan kita. Walaupun tidak dipungkiri pastilah ada pemikiran dan amalan yang berbeda, selama perbedaan itu bukan dalam hal-hal yang ushuliyah (pokok, prinsip) tak perlulah kita saling menghina apalagi berujung saling menghunus pedang.


Berbeda Tetapi Tetap Bersaudara


Saya baru saja melihat video amatir di youtube tentang "pembubaran paksa acara maulid Nabi di Jogja". Dalam video itu terlihat seorang lelaki berjenggot, memakai kaos, dan tanpa kopiah mendatangi sebuah majelis maulid Nabi yang dimeriahkan dengan tampilan grup hadrah atau rebana. Sebagaimana kita tahu, dalam alunan rebana itu dibacakan pula syair-syair pujian kepada Rasulullah saw beserta keluarga dan sahabat-sahabat beliau. 

Menurut sang lelaki itu, alunan rebana dan syair-syair serta shalawat adalah bid'ah, sesat, dan sarat dengan kesyirikan. Lelaki itu lantas mengamuk dan memaksa peserta maulid Nabi agar bubar. Bukankah seperti itu adalah cara-cara seorang preman? Apakah tidak lebih indah jika mereka duduk bersama secara rukun dan dewasa mendiskusikan masalah itu dengan tujuan untuk mudzakarah (saling mengingatkan dengan berpijak pada dalil masing-masing)?

Karena merasa dirinya yang paling benar atau bahkan satu-satunya yang benar, dia begitu mudah memvonis syirik dan sesat kepada orang lain yang berbeda pendapat dengannya. Nyata sekali, dia tidak bisa bijaksana dalam menyikapi perbedaan. Jika mereka mau melakukan diskusi atau mudzakarah, tentu akan memahami bahwa apa yang membuatnya marah dan bersumpah serapah itu hanyalah perkara beda pendapat.

Selama perbedaan pendapat itu masing-masing berpijak pada dalil, sikap terbaiknya adalah saling menghormati. Monggo yang mau mengamalkan, dan monggo pula yang tidak mau mengamalkan. Yang mengamalkan tidak perlu membenci yang tidak mengamalkan, dan yang tidak mengamalkan jangan memvonis secara ekstrim kepada mereka yang mengamalkan. Apalagi begitu mudah mengkafir-kafirkan.

Dalam video itu, saya dengar dan lihat pula, sang lelaki yang mengamuk itu marah-marah sambil menyebut bahwa tuan rumah yang punya hajat hadrahan tidak pernah berjamaah di masjid tetapi malah berbuat syirik di rumah. Na'udzubillah...! Kesalehan yang ekstrim --tanpa disadari oleh pelakunya-- bisa membuatnya merasa menjadi "tuhan kecil" yang berhak mengubah suatu hukum ke hukum yang lain. Dalam kasus ini, dia 'mengubah' hukum shalat berjamaah di masjid yang sunnah menjadi wajib. Orang lain yang tidak segiat dia dalam berjamaah di masjid, dia pandang secara nyinyir seolah-olah dialah yang shalih dan berhak atas surga, sedangkan orang lain hina dan berhak atas neraka.

Benarkah seluruh ulama bersepakat bahwa shalat berjamaah di masjid adalah wajib? Ternyata tidak! Berjamaah di masjid memang afdhal (utama), tetapi tidak wajib. Jadi, sebagaimana mestinya, hukum sunnah harus tetap kita dudukkan sebagai sunnah, yang wajib tetap kita junjung sebagai perkara wajib, dan yang khilaf (berbeda pendapat) tetap kita sikapi secara bijak sebagai sebuah perbedaan yang harmonis.

Keharmonisan hidup dan keeratan ukhuwah ini telah dicontohkan oleh para ulama yang tidak diragukan lagi kealiman mereka. Sebut saja di antara mereka adalah imam asy-Syifi'i, imam Malik, imam Abu Hanifah, imam Hambali, ar-Rafi'i, an-Nawawi, dan masih banyak lagi ulama lain yang kerap kali mempunyai pendapat/pemikiran yang berbeda. Apakah mereka lantas saling menghujat, saling membenci, dan saling mengkafirkan? Tidak, kan?

Walaupun berbeda pemikiran dan pandangan, mereka tetap saling tawadhu', saling mengasihi, dan saling menghormati. Mengapa? Karena mereka tidak pernah merasa paling benar atau bahkan satu-satunya yang benar. Mereka juga tidak menyukai kesombongan. Mereka justru lebih menyukai kerukunan dan persaudaraan serta lebih mengedepankan dialog ilmiah, bukan aksi-aksi jalanan para preman yang sama sekali tidak ilmiah dan tidak mencerminkan akhlak seorang muslim.


Tragedi Akibat "kesalehan yang Ekstrim"

Kita perlu mengambil pelajaran penting dari tragedi-tragedi pascawafat Nabi Muhammad Saw yang terjadi antarsahabat hingga berujung pada perang saudara, bahkan pertumpahan darah. Tragedi-tragedi di Timur Tengah saat ini pun layak kita jadikan pelajaran bagi kita. Di sana, di Timur Tengah, tidak sedikit pertumpahan darah yang dipicu oleh klaim kesalehan pribadi/kelompok secara ekstrim. Karena begitu ekstrimnya klaim ini, jadilah mereka menganggap orang lain yang berseberangan pendapat dengannya sesat dan kafir. Akibatnya, sangat memiriskan hati, mereka saling menumpahkan darah.

Mereka menganggap bahwa orang yang berseberangan dengan mereka adalah ahli bid'ah, sesat, syirik, kafir, dan sebagainya. Dan, vonis terpuncak mereka adalah menghalalkan darah siapa pun yang berseberangan pendapat dengan mereka. Na'udzubillah min dzalik...

Semoga Indonesia diberi kesejahteraan, ketenteraman, keharmonisan, dan kerukunan antarumat Islam! Bijaksana dan toleran dalam menyikapi perbedaan. Tidak saling menghujat, tidak saling menghina, dan tidak pula saling menyesatkan. Damailah Indonesia. Bersatulah umat Islam.


Allah SWT berfirman: 


"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali Imran 103)

Wallahu a'lam

8 comments:

Unknown said...

perbedaan memang perlu disikapi dengan arif bijaksana dan dewasa...umat muslim sudah sukses berlapang dada atas perbedaan dengan pemeluk agama lain, tapi saya rasa masih belum dewasa untuk perbedaan antara sesama muslim...hmm

Irham Sya'roni said...

Benar, Mas, saya merasakan hal yang sama. Kita harus terus menguatkan kedewasaan dan kearifan dalam menyikapi perbedaan dengn sesama muslim.

Debe Dila said...

Ihda'uts-tsawab (menghadiahkan pahala)=khilaf.

Irham Sya'roni said...

Iya, Mbak Deb.

Naila said...

Memang kita itu harus lebih bijaksana dalam menyikapi perbedaan antara kita muslim karena itu adalah lumrah sepert NU dengan Muhammadiyah jga lain sebagai.a, tpi saya setuju loh dengan hadits yang menyatakan bahwa kalau setelah sholat itu seperti monyet. Karena apa?, krn seperti.a disini itu dalam tanda kutip(") seperti.a disini bukan pas seperti monyet.a,tpi seperti. a itu cuma kiasan.Tak pernahkah kita melihat kera yang sedang mau pipis, cma pipis setelah itu langsung ngacir begitu pula dengan orang setelah sholat tdk wirid langsung ngacir, paling tidaklah istighfar sejenak walaupun hanya satu kali. Wirid kan jga tidak perlu yang panjang2,asalkan wirid. Komentar untuk artikel diatas bahwa sanya yang bilang orang tidak wirid seperti kera itu bkn kejam, krn itu kan hadits bkn hanya kiasan biasa. Dan itu jga hadits,hadita itu ads jga krn motivasi agar kita lebih semangat dlam beribadah disamping kita mempunyai kesibukan yang lain seperti; kerja, ngurusin orang tua yang sedang sakit. Nah justru dengan kesibukan itulah kita hrs lebih dekat dengan Allah agar dimudahkan segala urusan kita, kan gk ada rugi.a sholat 5menit 3 menit.a sholat 2 menit.a wirid. Saya disini tidak menggurui cma hanya memberikan masukan.

Irham Sya'roni said...

Maaf, Mbak Naila, boleh dikasih lihat kepada kami redaksional/teks hadits yang menyebut bahwa orang yang tidak/belum wiiridan setelah shalat seperti monyet?

Jack said...

Terlepas dari siapa yg mengatakan. Tapi saya coba jelaskan mksud teks dzikir dalam kalimat "Man laisa lahul-wird, fahuwa kal-
qird"
Yang dimaksud dzikir disini bukan wiridan habis shalat saja mas. Dzikir adalah segala perbuatan yg mengingatkan kepada Allah swt. Sperti Sholat, puasa, zakat, shadaqah dll. Jadi ungkapan yang tidak mau berdzkir sperti monyet adalah sindiran. Karena monyet tak berdzikir.
PAHAMI DULU APA ITU DZIKIR JANGAN LANGSUNG BIKIN TULISAN MENGKRITISI.

Irham Sya'roni said...

Terima kasih atas komentar Mas Zend, walaupun sebetulnya salah alamat.
Mengapa salah alamat?
Coba perhatikan lagi tulisan di atas.
1. Siapakah subjek yang mengucapkan maqalah al-Junaid tersebut? Ternyata bukan saya, melainkan orang lain yang secara salah menggunakan maqalah itu.
2. Melalui tulisan di atas, apakah saya sedang mengupas hakikat dari maqalah tersebut? Ternyata juga tidak. Inti dari tulisan di atas adalah ajakan kepada siapa saja agar tidak menjadikan "Kalimatu haqqin urida bihal bathil." Kebathilan apa yang saya maksud? Yaitu menjadikan kalimat haqq tersebut untuk menghujat dan membenci orang lain, serta pada waktu bersamaan mengujubkan dan menakaburkan diri sendiri. Inilah poin utama dari tulisan di atas.

Terlepas dari kesalahan alamat tersebut, saya tetap wajib berterima kasih kepada Mas Zend yang sudah membuat uraian tentang hakikat wirid di kolom komentar saya.
Sebetulnya banyak sekali uraian para ulama tentang kata wird atau awrad. Salah satunya adalah tulisan Dr. Abdul Halim Mahmud dalam kitabnya "al-Madrasah asy-Syadziliyyah". Beliau mengatakan:
والأوراد في معناها اللفظى كثرة ذكر الله والصلاة على رسوله  والمداومة على هذه الكثرة في ذلك أو في قراءة شئ من القرآن أو في دعاء

Tentu masih banyak lagi ulama dan kitab lain yang mendedah hakikat makna "wird" atau "awrad", yang jika kita tulis bisa berhalaman-halaman banyaknya. Nah, harapan saya, semoga Mas Zend berkenan mengulasnya secara komprehensif dalam satu catatan khusus. Tentu sangat bermanfaat untuk para pembaca.

Salam ukhuwah.