Malam ini, karena suatu peristiwa, tanpa sadar mantra tersebut terucap secara spontan dari mulutku. Hanya berbeda sedikit lafalnya. Bukan “datang tak diundang, pulang tak diantar”, melainkan “datang diundang, tapi pulang tak diantar”.
Ceritanya, malam Ahad ini saya diminta memberi pengajian di kampung sebelah dalam acara tasyakuran. Sempat timbul kekhawatiran apakah bisa memenuhi amanah tersebut atau tidak, karena sejak sore harinya badan saya terasa tidak sehat. Panas, lunglai, kepala pun terasa berat. Alhamdulillah, ada seorang wanita shalihah yang dengan senang hati menawarkan jasa pengobatan kepada saya. Siapakah dia? Dialah istri saya. Hehe… Dilumurinya tubuh saya dengan minyak angin hingga akhirnya terasa lebih enteng dan baikan. Saat shalat Isya’ pun sudah tidak terasa lagi sakitnya.
“Tok… tok… tok…! Assalamu’alaikum…!” terdengar suara seorang bapak mengucap salam sambil mengetuk pintu rumah.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah,” jawabku. Saya pun bergegas menuju pintu untuk membukanya sembari masih menenteng sajadah karena baru saja usai shalat Isya’. Ternyata yang datang adalah utusan dari panitia pengajian. Tujuannya sekadar memastikan bahwa saya tidak lupa dengan jadwal pengajian malam ini.
“Alhamdulillah, saya tidak lupa, Pak. Ini malah sudah siap-siap mau ke sana,” ujarku.
Kukembalikan sajadahku ke tempatnya, lalu kuraih kunci motor untuk bertolak menuju lokasi pengajian. Tetapi, sang Bapak meminta saya pergi bersamanya dengan kendaraannya.
“Wah, nanti malah merepotkan jenengan, Pak. Saya bawa motor sendiri saja ya,” ucapku. Tetapi sang Bapak tetap memaksa saya agar satu kendaraan dengannya. Demi tidak mengecewakan permintaan sang Bapak akhirnya aku mengabulkannya. Kuletakkan kembali kunci motorku, lalu pergi berboncengan dengan sang Bapak tersebut menuju tempat dihelatnya acara.
Lokasinya agak pedalaman dan sedikit berstruktur pegunungan. Bagi saya, inilah tantangan sekaligus seni dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar. Ada kebahagiaan dan kesan tersendiri manakala memasuki kampung tersebut. Menurut cerita orangtua saya dan para sesepuh lainnya, beberapa belas atau bahkan beberapa puluh tahun yang lalu kampung itu adalah pusat ngaji orang-orang sekecamatan. Tetapi kini kampung itu telah berubah 180 derajat. Jadi sepi dari ngaji, bahkan cenderung abangan.
“Itu jadi tugas sekaligus tantangan kamu untuk menghidupkannya lagi,” tandas kakek guru saya.
***
Sekira pukul 22.00 WIB acara usai. Semua tamu undangan dan hadirin sudah mengosongkan lokasi. Mereka telah kembali ke rumah masing-masing. Saya pun berpamitan kepada shohibul hajah (sang empunya acara) untuk undur diri.
“Bapak yang menjemput saya tadi ke mana ya?” telisikku, sambil tengak-tengok ke kiri dan ke kanan. Karena tidak juga menemukannya maka kutinggalkan lokasi itu. Kulangkahkan kaki menuju lokasi parkir, dan kulihat kendaraan sang Bapak masih terparkir di sana.
“Berarti sang Bapak masih di lokasi pengajian,” pikirku. Maka kuhentikan langkah lalu menelisik kembali adakah sang Bapak masih di sana. Sekali lagi kuedarkan pandangan ke lokasi pengajian. Sekelebat saya lihat sosok sang Bapak tampak sedang sibuk. Berjalan ke sana-kemari merampungkan tugas-tugasnya yang saya tidak mengetahuinya. Takut mengganggu kesibukannya di sana, akhirnya saya putuskan pulang dengan berjalan kaki menyusuri jalan yang tak berlentera. Husnuzhan saya, karena saking sibuknya sang Bapak mungkin lupa dengan saya, penumpang yang tadi dibawanya.
Saat berjalan dan sudah mendekati rumah saya, tiba-tiba ada satu motor dengan dua orang penumpang menghentikan lajunya tepat di sebelah saya. “Kok jalan kaki, Pak?” tanya salah satu dari mereka.
“Ah, itung-itung olah raga, Mas,” jawabku, mencoba menutupi apa yang terjadi.
“Mari kami antar, Pak,” tawar mereka.
“Rumah saya dekat kok, Mas. Jadi, jalan kaki tidak apa-apa.”
Mereka terus mendesak, akhirnya kupenuhi juga tawaran itu. Jadilah satu motor dinaiki tiga orang. Tidak berapa lama setelah saya sampai di rumah, terdengar pintu rumah saya diketok.
Tok… tok… tok… Assalamu’alaikum…!
Suaranya terdengar sangat keras serasa ada kepanikan di balik suara salam itu. Buru-buru saya buka pintu. Ternyata itu adalah suara sang Bapak yang tadi menjemput saya.
“Aduuuuhhh Paaakkkk…., saya mohon maaf. Saya minta dimarahi! Saya minta dihukum! Saking banyaknya tugas saya di acara tersebut, saya jadi lupa tidak mengantar pulang Bapak,” ucapnya, memohon-mohon.
Saya coba melesapkan kepanikan dan perasaan bersalah sang Bapak dengan memberinya senyuman dan tawa kecil. “Sudahlah, Pak. Tidak apa-apa. Bapak tidak salah. Lupa itu adalah manusiawi. Yang penting acaranya berjalan lancar, dan saya sudah kembali ke rumah dengan selamat,” terang saya.
“Terima kasih, Bapak telah memaafkan saya. Sekali lagi saya mohon maaf, bahkan kalau mau dihukum saya bersedia dihukum dengan hukuman apa pun.”
Agar lenyap perasaan bersalahnya, sekali lagi saya tebarkan senyuman dan tawa ringan. Jawaban di atas pun saya ulang kembali. Justru di balik peristiwa itu ada hikmah yang sangat luar biasa. Saya justru bisa berbincang-bincang lama dengan Bapak tersebut dan mendapatkan banyak informasi tentang sosial, tradisi, dan budaya masyarakat di sana. Bagi saya, informasi ini sangat penting untuk mengembangkan interaksi dan sosialisasi dengan mereka.
Dari perbincangan dengan sang Bapak, saya jadi lebih mengenal sosok beliau. Menurut cerita beliau, dahulu beliau adalah preman yang suka berjudi dan minum-minuman keras. Namun, Allah Maha Berkuasa memberikan hidayah-Nya. Ia pun bertobat; tidak lagi berjudi dan minum-minuman keras. Bahkan sejak pertobatannya itu, ia justru menjadi muslim yang sangat taat menjalankan ajaran Islam. Dialah yang setiap hari mengumandangkan adzan di masjid setempat.
Subhanallah walhamdulillah…! Dalam pandangan saya, sang Bapak adalah cerminan kecil dari sosok Umar bin Khattab. Sahabat blogger tentu ingat, siapakah Umar bin Khattab. Ya, dia adalah seorang preman Pasar Ukaz yang sangat ditakuti oleh siapa pun. Bicaranya keras, perangainya kasar, dan emosinya gampang meluap. Gambaran ini pula yang saya tangkap dari sosok sang Bapak yang menjemput saya tadi.
Alhamdulillah, dia benar-benar replika dari sosok Umar bin Khattab zaman ini dan di kampung
Ini. Semoga ada banyak lagi sosok-sosok preman yang bertobat sebagaimana Umar dan sang Bapak tadi. Amin..
***
Itulah sekelumit cerita saya tentang “mantra Jelangkung” pada malam ini: “Datang Diundang tapi Pulang Tidak Diantar”. Hehe…
Sumber gambar dari sini
8 comments:
baiknya bpk ustadz kami niiii...smg setiap langkah Baba kemaren mnjd amal ibadah yg dicatat malaikat utk Baba eaaaa ;-)
subhanallah.. tp kirain mau cerita horor.. hihih...
dibalik kelelahan ada hikmah yang dapat kita ambil ibrohnya, jazakallah sharing pengalamannya ustadz...
sebuah pengalaman yang berharga.
Amiin... semoga benar2 menjdi bagian dari sumbangsih kebaikan saya di dunia ini ya, Mi. thanks
Walaupun pulangnya jalan kaki melewati hutan jati yg gelap, tapi ga ada jelangkung kok Bunda. hehe
Syukron wa jazakallahu khairan, Mas Muro'i.
Benar, Mbak. Selain berharga dan sarat pelajaran juga bisa bikin ketawa. Hehe...
Post a Comment