Kedamaian pada hakikatnya adalah
dambaan dan tujuan utama setiap bangsa di muka bumi. Damai didefinisikan
sebagai dihormatinya manusia dan kemanusiaan secara optimal, akibat bekerjanya
sistem sosial, ekonomi, politik, budaya, keamanan, dan pertahanan secara
efektif, yang bermuara pada terwujudnya tatanan berkeadilan bagi semua.
Namun, sejauh ini perdamaian dunia
hanya mimpi yang tidak kunjung mencapai kenyataan. Konflik global terus saja
terjadi, dan ini menyadarkan kita betapa manusia hidup dalam permusuhan dan
pertikaian.
Di sejumlah negara, konflik seolah
menjadi menu harian, baik konflik yang bersifat internal bernuansa
politik-ekonomi, antaragama, dan etnis; maupun eksternal yang melibatkan
antarnegara dalam perebutan kekuasaan wilayah, ekonomi, pengaruh agama, etnis,
dan politik.
Tengok saja Sudan, telah menjadi lahan
konflik agama dan etnik. Begitu pula invasi Amerika ke Irak juga telah
merenggut ribuan korban jiwa warga sipil, belum lagi yang kehilangan tempat
tinggal dan berimigrasi ke negara lain. Yang lebih memilukan, invasi tersebut
telah mendorong konflik menajam antara Syiah-Kurdi dan Sunni, dan tercatat
puluhan orang meninggal setiap hari.
Lihat pula Afghanistan, bak bola panas
yang lepas dari cengkeraman Rusia, dan saat ini dalam genggaman Amerika.
Kondisi itu membawanya sebagai negara berjulukan kampiun teroris. Belum lagi
derita kelompok Muslim minoritas di Thailand Selatan dan Mindanao, Filipina
Selatan. Dan masih banyak lagi kawasan konflik di negara-negara berpenduduk
Muslim.
Fenomena ini menunjukkan, betapa tata
dunia yang damai belum menjadi kesadaran hidup global. Impian dunia yang damai, seakan
sirna oleh egopolitik dan ekonomi. Berbagai upaya perdamaian telah dilakukan,
baik bersifat lokal, regional, bahkan melibatkan lembaga-lembaga internasional,
seperti PBB dan OKI. Namun, cita-cita masyarakat damai yang diidamkan belum
juga mencapai kenyataan.
Kondisi itu diperparah oleh agama,
etnis, dan budaya, yang ternyata ikut membakar konflik di belahan bumi ini.
Karenanya, layak digulirkan pertanyaan, di manakah peran agama, yang visi dan
misi kehadirannya di bumi membawa kedamaian, toleran, ramah, hening, sunyi,
santun, beradab, salam, kasih, shalom, dan ahimsa?
Islam Moderat
Misi Islam yang dibawa Nabi Muhammad
SAW, pada dasarnya adalah li-itmam
makarim al-akhlaq, yaitu
untuk menyempurnakan etika yang mulia atau membangun manusia yang bermoral.
Agama Islam juga diarahkan sebagai rahmatan
lil 'aalamin, menjadi rahmat bagi alam semesta. Dari inilah, Islam dapat
dipahami sebagai sebuah ajaran yang bersifat universal.
Islam menempatkan moral sebagai dasar
mewujudkan perdamaian. Hal ini tercermin dalam sejarah Nabi Muhammad SAW saat
peletakan Hajar Aswad yang melibatkan semua golongan di Mekah, Piagam Madinah
yang berujung terciptanya transformasi sosial, peristiwa Fathu Makkah, dan
peristiwa bersejarah lainnya.
Penaklukan Mekah (Fathu Makkah),
misalnya, meletupkan euforia para sahabat Nabi atas keberhasilan membebaskan
Mekkah dari cengkeraman kaum musyrikin. Saat itu ada sekelompok kecil sahabat
Nabi yang berpawai dengan meneriakkan slogan "al-Yaum Yaumul
Malhamah", hari ini adalah hari penumpahan darah. Slogan ini
dimaksudkan sebagai upaya balas dendam mereka atas kekejaman orang musyrik
Mekah kepada umat Islam.
Gejala tidak sehat ini dengan cepat
diantisipasi oleh Nabi Muhammad SAW dengan melarang beredarnya slogan tersebut,
dan menggantinya dengan "al-Yaum Yaumul Marhamah", hari ini
adalah hari kasih sayang. Akhirnya, peristiwa pembebasan Kota Mekah dapat
terwujud tanpa insiden berdarah.
Wajah damai dan moderat inilah yang
membawa Islam berkembang pesat dan digandrungi banyak manusia di belahan bumi
mana pun, dan di setiap peradaban apa pun. Islam moderat selalu mencari jalan
tengah dalam menyelesaikan persoalan. Perbedaan dalam bentuk apa pun
diselesaikan lewat kompromi yang menjunjung tinggi toleransi dan keadilan,
sehingga dapat diterima oleh kedua belah pihak. Melalui cara itu pula, masalah
yang dihadapi dapat dipecahkan tanpa jalan kekerasan.
Ulama dan cendekiawan, sebagai salah
satu rujukan umat dan masyarakat di negara-negara Muslim, memiliki peranan
penting sekaligus signifikan dalam penciptaan perdamaian. Peran ulama dan
cendekiawan, bukan saja dalam penyelesaian konflik (conflict resolution),
tetapi juga bagaimana mencegah terjadinya konflik (conflict prevention).
Kedudukan ulama dan cendekiawan
memiliki otoritas dan legitimasi serta pengaruh dalam kehidupan sosial. Karena
itulah, kontribusi keduanya bersama organisasi sosialnya dalam peace building dan conflict
prevention, perlu digali dan dikembangkan secara
fungsional.
Dalam konteks inilah, Nahdlatul Ulama
(NU) sebagai organisasi yang didirikan para ulama yang mengedepankan
nilai-nilai tawasuth (moderat), tawazun (keseimbangan), tasamuh (toleran), dan tasyawur (dialog), berusaha memberikan
kontribusi dalam peace
building dan conflict prevention tersebut.
International Conference of Islamic
Scholars (ICIS) adalah salah satu kontribusi nyata itu. Setelah sukses
menggelar ICIS I dengan tema Upholding
Islam as Rahmatn Lil 'Alamin pada
Februari 2004, dan ICIS II dengan tema Upholding
Islam as Rahmatan Lil 'Alamin towards Justice and Peace pada Juni 2006, ICIS III digelar pada
29 Juli-1 Agustus 2008, di Hotel Borobudur, Jakarta. Kali ini mengusung tema Upholding Islam as Rahmatan lil
'Alamin: Peace Building and Conflict Prevention.
ICIS III diharapkan dapat merumuskan
dan memberikan rekomendasi yang cukup mengikat bagi individu dan organisasi,
baik berskala regional, nasional, maupun internasional, seperti PBB dan OKI.
Selain itu, juga dapat digunakan oleh negara peserta untuk terciptanya tatanan
dunia yang damai tanpa konflik dan kekerasan.
Di samping itu, ICIS III ini melahirkan action plan berupa sharing dan kerja sama antarsejumlah
negara peserta, untuk terselenggaranya kegiatan mediasi berupa konsultansi dan
asistensi terhadap negara yang saat ini dilanda konflik. Mediasi terdiri dari
dua pendekatan, diplomasi dan prevensi, maupun pemecahan konflik di lapangan.
-----------------------------------
Tulisan (opini) ini dipublikasikan di
koran Suara Pembaruan pada Kamis, 31 Juli 2008.
2 comments:
Kalau Agama dijadikan jalan resolusi dan mengelola kedamaian, perlu digali juga dengan agama-agama yang lain. Karena, kalau hanya dari sudut pandang agama Islam, nanti dikhawatirkan justru menjadi alat legitimasi kelompok tertentu. Walaupun ada prinsip lakum diinukum waliadiin, tetapi tetap saja ada kelompok tertentu yang berpandangan 'kaku' yakni 'harus' dengan Islam seolah-olah hanya di Islam lah yang mengatakan soal perdamaian.
Seriap agama tentu mengajarkan kebaikan dan kedamaian. Bukan kerusuhan apalagi peperangan. Begitulah inti agama. Namun, ketika sudah berada di tangan para penganutnya, akan terjadi multitafsir dan multipenerapan makna "kedamaian" itu. Salah satunya, sprti yg Anda khawatirkan, menjadi alat legitimasi kelompok tertentu.
Namun, sbgai muslim, kapasitas saya dan dgn segala keterbatasan wawasan saya ttg agama lain, maka tersajikanlah bagaimana Islam mengajarkan kedamaian. Dan, hal itu berkesesuaian dgn momen yg sdg trjadi, yakni ICIS. Salam kenal dan salam damai!
Post a Comment