Sejarah dunia mencatat betapa perempuan seringkali diperlakukan secara nista. the second class, makhluk pelengkap, separoh harga laki-laki, konco wingking, dan seabrek predikat lain yang mendudukkan wanita pada sudut-sudut sosial.
Pada banyak peradaban besar, perempuan dianggap sebagai
Pada masa Yunani Kuno dan Peradaban Romawi, perempuan diperlakukan layaknya barang dagangan yang bebas diperjualbelikan. Pada masyarakat Hindu praabad 7 Masehi, perempuan dijadikan sesajen untuk para dewa. Ajaran Yahudi pun menganggap perempuan sebagai sumber laknat karena dialah yang menyebabkan Adam terusir dari surga. Dan pada abad ke-6 Masehi, sebuah konsili menyimpulkan bahwa perempuan adalah manusia yang diciptakan semata-mata untuk melayani laki-laki.
Dalam tradisi Arab Jahiliyah pun nasib perempuan sangat memprihatinkan. Tradisi ini menghalalkan dibunuhnya seorang bayi yang terlahir sebagai perempuan. Dalam hal warisan, mereka tidak mempunyai hak sama sekali untuk mendapatkan bagian, bahkan dianggap sebagai barang yang dapat diwariskan.
Ilustrasi yang memilukan di atas menggambarkan, betapa perempuan dari masa ke masa selalu menjadi korban kekerasan feodalisme laki-laki. Bahkan sampai hari ini pun kita masih bisa menyaksikan betapa kekerasan terhadap perempuan masih berlangsung.
Dalam lingkup keluarga, kekerasan mewujud dalam tindakan-tindakan seperti pemukulan, eksploitasi fisik perempuan, pengrusakan terhadap alat kelamin perempuan, dan tekanan fisik maupun psikis terhadap perempuan.
Kenyataan inilah yang pada akhirnya melahirkan tuntutan kaum perempuan untuk bisa terbebas dari segala macam praktik perbudakan dan menempatkan mereka sejajar dengan laki-laki dalam segala aspek kehidupan. Tuntutan inilah yang kemudian terkenal dengan istilah emansipasi.
Apakah Islam bersikap dingin bahkan pasif terhadap fenomena kekerasan terhadap perempuan ini? Tidak, kedatangan Islam adalah untuk membebaskan manusia dari penindasan, ketidakadilan, perbudakan, budaya kasta, dan dikotomi antara laki-laki dan wanita.
Banyak ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang praktik violence (kekerasan) terhadap perempuan. Uslub (gaya bahasa) yang digunakan pun beragam; ada yang menyuruh berbuat baik terhadap perempuan, ada yang melarang praktik-praktik yang merugikan perempuan, ada yang bersifat preventif, ada pula yang bersifat kuratif. Di antara ayat-ayat tersebut adalah: Q.S. al Baqarah: 228, 231, 232; Q.S. an-Nisa’: 19, 34-35, 129, Q.S. ath-Thalaq: 6; Q.S. an-Nur: 33; serta Q.S. ar-Rum: 21.
Banyak literatur Islam menyatakan bahwa memukul istri diperbolehkan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa memukul istri adalah cara yang dianjurkan Al-Qur’an untuk memberi pelajaran kepada istri yang nusyuz (membangkang). Mereka berpijak pada Q.S. an-Nisa’: 34:
"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar"
Sekilas ayat ini tampak menganjurkan pemukulan kepada wanita (istri) yang nusyuz. Pandangan ini bisa saja muncul karena kita hanya melihat secara sepintas apa yang tersurat dalam zahir ayat. Pertanyaannya, apakah pemukulan memang anjuran dari Al-Qur’an, ataukah pemukulan hanyalah pintu darurat kecil yang semestinya tidak dilakukan?
Pernyataaan an-Nisa’: 34 di atas tidak boleh dipahami sebagai anjuran untuk berbuat semena-mena dan mengedepankan kekerasan terhadap perempuan. Pemukulan hanyalah alternatif terakhir dan terburuk bagi suami. Sebab, dalam ayat yang sama dikemukakan cara yang lebih utama dan efektif, yaitu mau’izhah (nasihat) dan pisah ranjang.
Perilaku Rasulullah dalam berkeluarga patut kita ikuti. Sebagai qudwah (panutan) umat, Rasulullah tidak pernah mempergunakan tangannya untuk memukul istri-istrinya, bahkan tidak juga kepada para pembantunya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah pernah memprotes perilaku kekerasan yang kerap dilakukan masyarakat Arab saat itu:
"Janganlah salah seorang di antara kalian memecut istrinya seperti budak, lalu malam harinya ia ditiduri." (HR. Ibnu Majah)
Emansipasi juga bukan berarti pengangkangan dan penindasan laki-laki terhadap perempuan, atau sebaliknya. Emansipasi, dalam pandangan Al-Qur’an, adalah pengakuan persamaan laki-laki dan perempuan dengan segala kekurangan dan kelebihan masing-masing. Dengan kekurangan dan kelebihan itulah mereka dituntut bekerja sama dan saling menghargai.
Kendati para ilmuwan telah menemukan adanya perbedaan fisiologis dan anatomis antara laki-laki dan perempuan, namun kesimpulan mereka tidak mengindikasikan bahwa salahsatunya lebih tinggi atau rendah dari yang lain.
Sebagai konsekuensi logis dari prinsip tauhid, Islam pun hadir dengan prinsip al-musawah baina an-nas (kesetaraan antarmanusia). Tidak ada yang membedakan antara manusia, kecuali kadar ketakwaan masing-masing (Q.S. al-Hujurat, 49: 13).
--------------------------------------------
Tulisan ini dipublikasikan di Bernas Jogja pada Jum'at, 18 April 2008.
0 comments:
Post a Comment