ads
Wednesday, October 31, 2007

October 31, 2007


Judul : Peran Kiai Pesantren dalam Partai Politik
Penulis : Dr. H. Achmad Patoni, M.Ag
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I Agustus 2007
Tebal : xvi + 212 halaman

Kiai berpolitik praktis adalah kajian yang amat menarik. Sebagian pendapat menyatakan, idealnya kiai tetap meneguhkan dirinya dalam wilayah kultural. Artinya, mereka lebih dipentingkan keberadaannya untuk melakukan kerja-kerja kemasyarakatan dan pendidikan warga, ketimbang masuk dalam perebutan kekuasaan struktural kenegaraan. Sementara pendapat lain mengatakan, Islam adalah din wa dawlah (agama dan pemerintahan) yang meniscayakan keterlibatan kiai dalam ranah politik.

Buku ini merupakan formulasi dari penelitian Achmad Patoni di beberapa pondok pesantren di Kediri (Lirboyo, Ploso, dan Jamsaren) yang telah dituangkan sebelumnya dalam sebuah disertasi untuk meraih gelar doktor ilmu sosial di Universitas Merdeka Malang.

Untuk mendedah buku ini, setidaknya ada tiga pertanyaan kunci yang mesti diajukan: yaitu, bagaimana peran kiai pesantren dalam partai politik (parpol), apa motif keterlibatan mereka dalam parpol, dan bagaimana pandangan para elit agama Islam itu terhadap aktivitas politik di Tanah Air belakangan ini.

Terkait peran kiai pesantren dalam parpol, Patoni mengklasifikasikannya dalam tiga bagian. Pertama, kiai berperan sebagai aktor. Yakni sebagai tim sukses sekaligus juru kampanye partai tertentu. Kedua, berperan sebagai pendukung. Yakni, mendukung partai tertentu tetapi tidak berada pada garis depan dalam memperjuangkan keberhasilan partai yang didukungnya. Ketiga, berperan sebagai partisipan. Maksudnya, kiai hanya memberikan restu terhadap calon tertentu, dan tidak terlibat dalam aksi dukungan atau menjadi tim sukses.

Peran kiai dalam partai politik dapat dimaknai sebagai ikhtiar untuk membangun dan menata masyarakat secara efektif. Dan itu akan mudah terwujud apabila kiai turut memegang peranan dalam pemerintahan. Namun demikian, keterlibatan kiai sebagai aktor politik amat rentan disusupi bisikan setan dan pertaruhan yang tidak murah. Sedikit saja mereka salah melangkah, maka "bencana besar" akan muncul. Tidak hanya pada diri kiai yang bersangkutan, melainkan juga institusi kiai secara keseluruhan, santri dan umat pengikutnya, bahkan juga agama akan "tercoreng" dan tercederai.

Sedangkan motif partisipasi kiai pesantren di dalam politik praktis didasari oleh alasan untuk memperjuangkan Islam melalui jalur struktural sekaligus didasari atas moralitas politik yang wajib diperjuangkan. Namun demikian, motif suci ini tidak luput dari beragam implikasi. Tak hanya bagi diri kiai sendiri, melainkan juga pesantren.

Bagi pribadi kiai, keterlibatannya dalam politik praktis berimplikasi pada kekurangoptimalan peran-peran kiai di wilayah kultural dan pendidikan (tarbiyah) di kawah candradimuka yang berjuluk pesantren. Aktivitas politik telah menguras perhatian dan memecah konsentrasi kiai. Akibatnya, pesantren kerap kethetheran (kurang terurus) karena hanya sebagai anak tiri.

Motif lain ketertarikan kiai bergabung di bawah bendera parpol adalah sisi untung dan eksistensi, bagi pesantren maupun kiai itu sendiri dan keluarganya. Dengan berpolitik, pesantren akan gampang menerima kucuran dana untuk perbaikan atau penambahan sarana dan prasarana sebagai "berkah" dari adanya koneksi-koneksi politik yang kiai bangun. Dan, bagi kiai dan keluarganya tentu akan mendapatkan link-link yang menguntungkan.

Sudah saatnya polemik kiai berpolitik tak lagi dilanjutkan dan diawetkan. Berpolitik atau tidak bergantung kepada kiai itu sendiri. Apakah kesibukannya mengibarkan bendera partai lebih mendatangkan manfaat atau justru membawa segudang madlarat (kerugian), hanya kiai itu sendiri yang berhak dan dapat menjawabnya.

Hanya saja, selama ini kita lebih kerap disuguhi pemandangan yang kurang membahagiakan, yaitu "gagalnya" para kiai dalam mensukseskan peran ganda mereka tak hanya di jalur struktural (parpol) namun juga kultural (pesantren dan keumatan).

Buku ini selain mengajak pembaca untuk melakukan refleksi kolektif atas "kegagalan-kegagalan" para kiai dalam mengemban tugas ganda, juga berusaha menyadarkan kita agar memandang politik secara objektif; bahwa tak selamanya politik itu kotor, busuk, menjijikkan atau bahkan biadab karena banyak telikungan-telikungan setan yang mengelilinginya. Kebusukan dan kemuliaan politik, sekali lagi, amat bergantung kepada aktor yang melakoninya.

-----------------------------------------------------------------
Resensi ini dipublikasikan di surat kabar harian Kedaulatan Rakyat pada Ahad, 28 Oktober 2007.

0 comments: