ads
Wednesday, October 3, 2007

October 03, 2007

”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.”
(QS Al-Qadr:1-5)

Lailatulkadar adalah malam yang agung di antara sekian malam di Bulan Suci Ramadan. Tak sekali pun Allah menyebut kapan malam itu terjadi. Dia hanya menjelaskan bahwa malam itu lebih baik daripada seribu bulan (yang tidak terdapat lailatulkadar di dalamnya), kemudian para malaikat akan turun menyesaki Bumi menebar salam kesejahteraan kepada umat Muhammad yang beriman, serta malam itu penuh berkah hingga terbit fajar.

Dalam Tafsir Al-Shawiy, dikisahkan suatu hari Rasulullah SAW menyaksikan seseorang dari Bani Israil yang selalu memanggul senjata berjihad dan berjuang di jalan Allah selama seribu bulan. Lelaki itu tak pernah merasa lelah atau bahkan bosan. Ia terus mendedikasikan dirinya hanya untuk Allah selama itu.

Melihat itu Rasulullah takjub dan merasa ”iri”. Kemudian beliau mengadu kepada Tuhannya, ”Ya Allah, Engkau jadikan umatku sebagai umat yang paling pendek usianya, dan tentunya paling sedikit pula amalnya.”

Karena itulah Allah kemudian menghadiahi Muhammad dan umatnya suatu malam yang amat istimewa. Bahkan, saking istimewanya melebihi kebaikan amal seribu tahun seperti yang dilakukan lelaki Bani Israil itu.

Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada umatku malam al-qadr dan itu tidak diberikan kepada umat sebelumnya.” (HR Ad-Dailamy)

Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda, ”Siapa beribadah di malam lailatulkadar dengan rasa iman dan mengharap pahala dari Allah, ia akan diampuni dosanya yang telah lalu.”

Malam seribu bulan memang misteri, apakah ia berupa bentuk, aktivitas, atau kondisi. Meski demikian, ia bukanlah mitos atau sekadar dongeng nenek moyang. Lailatulkadar pasti terjadi dan ini wajib diyakini oleh setiap muslim. Informasi tentang malam istimewa itu bukanlah rekaan Muhammad atau ulama-ulama setelahnya. Lailatulkadar secara jelas termaktub dalam Alquran, kitab suci yang aman dari kesalahan apalagi bualan.


Optimal beribadah
Hanya saja, kita memang tidak tahu bahkan tidak diberi tahu kapan terjadinya dan siapa yang meraihnya, serta apa indikatornya. Dirahasiakannya lailatulkadar mengandung hikmah yang besar agar umat Muhammad bisa benar-benar optimal dan semangat di seluruh hari di Bulan Ramadan dengan memperbanyak ibadah dan amalan-amalan saleh.

Hanya dengan begitu, kita berusaha mencari rahmat dan rida Allah SWT melalui lailatulkadar kapan saja dan di mana saja, tanpa harus terpaku pada satu hari tertentu. Jika malam lailatulkadar ini diberitahukan tanggal kepastiannya, pastilah kita akan beribadah sebanyak-banyaknya hanya pada tanggal itu, dan tidak giat lagi beribadah ketika tanggal tersebut sudah lewat.

Namun demikian, beberapa hadis Nabi SAW setidaknya bisa menjadi referensi dalam proses perburuan malam seribu bulan. Di antaranya diriwayatkan dari Abu Dawud, Nabi Muhammad SAW pernah ditanya tentang lailatulkadar, lalu beliau menjawab, ”Lailatulkadar ada pada setiap bulan Ramadan.”

Riwayat Imam Bukhari dari Aisyah, Nabi Muhamamd SAW bersabda, ”Carilah lailatulkadar itu pada malam ganjil dari sepuluh terakhir pada bulan Ramadan.”

Menurut pendapat yang lain, lailatulkadar itu terjadi pada 17 Ramadan, 21 Ramadan, 24 Ramadan, malam ganjil pada 10 hari terakhir dari Ramadan, dan masih banyak lagi pendapat yang lain. Jadi, baik Alquran maupun hadis Nabi memang tidak pernah menuturkan tanggal terjadinya secara pasti.

Pendapat yang lebih umum, lailatulkadar jatuh pada tanggal 27 setiap Ramadan. Para ulama Mekkah mengkhatamkan bacaan Alquran bersamaan dengan salat Tarawih di malam ke-27. Pada saat itulah di sana orang-orang bersemangat menjalankan ibadah salat Tarawih, juga salat-salat sunah yang lain, seperti Tahajud, Witir dan ibadah sosial seperti memberi makan orang miskin, memberi buka kepada yang berpuasa, bersedekah, dan sebagainya.

Hadis riwayat Ahmad dengan sanad sahih, dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda, ”Siapa mencari malam lailatulkadar carilah di hari ke-27.”

Sudah menjadi sifat manusia; manja, selalu menuntut lebih, selalu berharap balasan (pamrih), tergiur iming-iming, imbalan jasa, dan sebagainya. Pun demikian dalam bulan Ramadan ini, kita berubah alim, saleh, dan khusyuk, manakala Allah melontarkan iming-iming berupa rahmat, pelipatgandaan pahala, ampunan, dan sebagainya.

Syahdan, betapa paniknya kita ketika bulan Ramadan tiba. Kita berbondong-bondong memadati mesjid dan musala untuk melakukan ibadah karena ada iming-iming pahala besar jika kita rajin beribadah pada bulan penuh kemuliaan tersebut. Semua berbalik seratus delapan puluh derajat. Mesjid atau musala yang sebelumnya sunyi, mendadak padat dengan jamaah baik anak-anak, remaja, maupun orangtua.

Andai kita memiliki pikiran dan nurani, harusnya kita sadar bahwa dirahasiakannya malam lailatulkadar sesungguhnya adalah pukulan telak buat manusia. Sebenarnya kita sedang disindir oleh Tuhan, bahwa ibadah mestinya tidak hanya dilakukan dalam satu malam atau malam-malam tertentu saja.

Untuk mendapatkan lailatulkadar dituntut kesucian jiwa dan keikhlasan hati, serta kontinuitas (istikamah) dalam beramal. Lailatulkadar hanya akan hinggap dan pasti jatuh pada orang yang bertakwa. Dan ketakwaan itu tidak hanya diukur melalui aktivitas insidental dengan menyendiri di dalam masjid atau kamar pribadi yang gelap sembari menggenggam tasbih. Rasulullah SAW bersabda, ”Letak takwa adalah di sini.” Maksudnya ada dalam hati. Namun demikian, tidak berarti lailatulkadar akan jatuh kepada sembarang orang yang tidak pernah bermesraan dengan Tuhan. Sebab, untuk meraihnya harus ada prakondisi yang positif dan istikamah.

Semoga kita meraihnya!

-----------------------------
Tulisan ini dipublikasikan di koran Solopos pada Rabu, 03 Oktober 2007.

Sumber Gambar

0 comments: