ads
Friday, July 20, 2007

July 20, 2007
Judul : Dasar-dasar Intelektualitas; Yang Terlupakan dalam Hubungan Universitas dan Dunia Kerja
Penulis : Agus Suwignyo
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogayakarta
Cetakan : I, April 2007
Tebal : xi + 133 halaman

Harus diakui, universitas selama ini cenderung melahirkan sarjana-sarjana tanggung, atau dalam bahasa Jawa disebut mogol. Artinya, mereka tidak benar-benar ahli dalam suatu bidang tertentu seperti halnya ahli madya lulusan akademi, tetapi juga tidak memiliki kualifikasi dasar umum yang memadai untuk menjalani in the job training.

Kenyataan ini tak dipungkiri oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans). Dalam catatannya, Depnakertrans menyuguhkan data, meskipun dari tahun 2000 sampai 2005 jumlah penganggur sarjana universitas cenderung menurun, namun angka absolut penganggur sarjana lulusan universitas tetap lebih tinggi daripada penganggur diploma lulusan akademi.

Data di atas menjadi indikator rendahnya mutu intelektualitas sarjana lulusan universitas dewasa ini. Indikator lainnya adalah minimnya pengakuan internasional atas kualitas program studi universitas di Indonesia dan praksis keseharian sivitas akademika dalam hal profil akademis dan disposisi sikap.

Di saat masalah sosial, politik, ekonomi, ekologi, dan religiusitas manusia Indonesia menjadi semakin kompleks akibat meleburnya batas-batas interaksi dalam arus globalisasi, dunia universitas di Indonesia justru menjadi bagian dari masalah-masalah itu. Betapa keprihatinan akan semakin menggelembung manakala kita disuguhi berita tentang mahasiswa universitas, sarjana, dosen, atau guru besar, yang tersandung kasus pelanggaran hukum atau norma. Pertanyaannya, apa yang salah, dan apa yang perlu dibenahi dari universitas? Jawabnya, orientasi dan paradigma (penyelenggaraan) pendidikannya.

Akibat perkembangan teknoekonomi yang serba akseleratif, universitas terdorong untuk mengimbangi perkembangan itu secara aktif dengan merubah paradigma universitas dari “science for science” menjadi “science for society”, “ilmu demi ilmu” menjadi “ilmu demi kemaslahatan masyarakat”. Sayangnya, ketika paradigma baru tersebut dijadikan indikator untuk mengevaluasi universitas, bentuk ‘kemaslahatan’ itu sulit ditemukan, bahkan universitas menjadi kehilangan karakter dan kesejatiannya yang menekankan sentralitas kualitas mutu dan disposisi sikap sebagai dasar intelektualitas.

Dalam hal ini, Suwignyo berpandangan, kecenderungan universitas berorientasi dan menyesuaikan programnya dengan tuntutan terapan pasar kerja merupakan ketidaktepatan trilipat. Pertama, pasar kerja berubah dengan cepat sehingga sulit dipenuhi. Kedua, karena terfokus pada upaya memenuhi tuntutan vokasionalitas pasar kerja, universitas mengabaikan perhatian pada program-program dasar keilmuan yang justru sangat penting dewasa ini. Ketiga, karena mereduksi misinya pada peningkatan pasar kerja lulusan (graduate employability), universitas kehilangan kesempatan untuk memegang peran sentral dalam misi besar pencerahan manusia melalui aspek-aspek sosial, politik dan kebudayaan. (hal. 41)

Karenanya, Suwignyo menggelontorkan gagasan pentingnya pembaruan semangat dan orientasi pendidikan universitas. Pembaruan tersebut difokuskan pada upaya menata dan memantapkan dasar-dasar intelektualitas. Universitas hendaknya menghidupkan kembali ruh kehidupannya yang eksploratif, kritis, dan mencerahkan, dengan mentradisikan pertanyaan “mengapa demikian?” dan “bagaimana ini terjadi?”. Bukan sekadar pertanyaan “apa gunanya” yang lebih bersifat pragmatis dan “mengekonomikan” universitas.

Gagasan Suwignyo ini didorong oleh perkembangan beberapa program profesi akhir-akhir ini. Perkembangan profesi ini menjadi peluang positif untuk membenahi dan memantapkan program pendidikan sarjana, sebagai pondasi pendidikan profesi. Karena porsi penguasaan keahlian terapan telah dikonsentrasikan pada program pendidikan profesi, maka kurikulum sarjana hendaknya difokuskan pada aspek-aspek penguatan dasar-dasar intelektualitas mahasiswa.

Suwignyo mengakui, apa yang ditawarkan buku ini tidak sepenuhnya baru, tetapi diadopsi dari program liberal arts-nya universitas-universitas di Eropa. Namun, ada yang membedakan antara keduanya. Pertama, Suwignyo hanya mengadopsi perspektif intelektualitasnya, bukan bidang kajian maupun substansi program liberal arts itu sendiri.

Kedua, Suwignyo telah mengontekstualkan perspektif program tersebut dalam situasi kekinian dan kedisinian. Liberal arts dalam perspektif Suwignyo ditujukan untuk mengasah kemampuan berpikir kritis dan menalar, mengapresiasi dan berkomunikasi, kepekaan atas konteks suatu pengalaman hidup, dan integritas cara pandang atas suatu persoalan.

Bagaimana pun, gagasan ini patut direfleksi dan diapresiasi secara arif untuk mengembalikan mutu intelektualitas lulusan universitas secara utuh dan mendasar. Bukan mencurigainya sebagai upaya pengrecokan pendidikan universitas yang sudah dianggap ‘mapan’. kasih dan cinta.

------------------------------------------
Tulisan ini dipublikasikan di koran Solopos pada Ahad, 8 Juli 2007.

0 comments: