ads
Tuesday, June 19, 2007

June 19, 2007

Sabtu, 27 Mei 2006, sekitar pukul 05.54 WIB, beberapa orang sudah memulai aktivitas paginya; memasak, ke sawah, ke pasar, bersiap ke sekolah atau kantor. Namun, tidak sedikit pula yang masih enggan membuka mata dan beranjak dari kehangatan tempat tidur. Tiba-tiba, guncangan hebat berkekuatan 5,9 skala richter menghentak memecah keheningan. Rumah-rumah roboh, korban pun berjatuhan, dan ribuan nyawa pun melayang. Semua terjadi hanya dalam tempo 57 detik.

Secara fisik, proses rehabilitasi dan rekonstruksi korban gempa berjalan relatif baik. Dana rekonstruksi (dakon) dari pemerintah pusat untuk rumah rusak berat (roboh) juga telah tersalurkan sejak akhir 2006 lalu. Meski tak sesuai janji Wapres Jusuf Kalla, yakni hanya separohnya atau 15 juta, masyarakat tetap menerima bantuan itu dengan ikhlas.

Sikap ini mengingatkan kita pada kisah Thomas Alfa Edison ketika laboratoriumnya habis terbakar. Ia justru berkata "Sekarang kita punya alasan untuk membangun laboratorium yang baru. Umurku baru 76 tahun. Tidak terlalu tua untuk mulai lagi". Inilah yang kita sebut untuk menikmati hidup (enjoy life) dan bukan hanya bertahan hidup (endure life) di tengah kesukaran.

Sampai 8 Mei 2007 kemarin, data Kimpraswil DIY melaporkan, 168.827 rumah rusak ringan, 85.356 rusak ringan, dan 160.109 rusak berat. Dari data itu, 90% di antaranya sudah selesai direkonstruksi meski belum sempurna. Selebihnya, karena tidak memiliki biaya tambahan dari kantong pribadi, mereka tetap bertahan shelter-shelter.

Diakui, dana 15 juta memang terlampau kecil untuk membangun secara sempurna rumah yang telah hancur lebur rata dengan tanah. Meski demikian, setidaknya bantuan itu bisa untuk mendirikan sekadar tempat berlindung. Yang terpenting, spirit hidup mereka telah direngkuh lagi.

Sayangnya, keikhlasan masyarakat ini justru dimanfaatkan ‘mafia-mafia’ dan ‘makelar-makelar’ bantuan yang mengambil kesempatan mengeruk keuntungan. Mereka memotong dana bantuan itu untuk keperluan-keperluan lain yang tidak jelas atau tidak urgen sama sekali. Misalnya, beberapa oknum pejabat atau perangkat desa melakukan penyunatan dana untuk alokasi yang tidak jelas.

Di beberapa daerah, juga dijumpai kecurangan-kecurangan lain dengan modus beragam. Misalnya, rumah rusak ringan atau sedang dimasukkan oleh oknum-oknum tertentu ke dalam daftar rusak berat (tentunya dengan sejumlah imbalan), pendamping yang sebetulnya telah mendapat gaji dari pemerintah juga dengan ‘senang hati’ menerima amplop ‘tanda terima kasih’ dari warga. Tujuannya agar pendamping tidak banyak mengontrol dan mendikte, sehingga warga bebas membelanjakan dakon itu untuk apa saja termasuk yang kebutuhan sekunder atau tersier. Banyak juga pencoretan nama tanpa alasan jelas yang memicu munculnya konflik-konflik baru.

Kasus serupa lainnya terjadi pada proses penyaluran dana Depag untuk pesantren dan madrasah diniyyah (madin) di wilayah Bantul. Beberapa pengasuh pesantren protes; Depag dianggap ceroboh meloloskan pesantren atau madin yang disinyalir fiktif, dan dinilai tidak adil karena nominal bantuan yang diberikan tidak sepadan dengan tingkat kerusakan (rusak ringan atau sedang justru mendapat bantuan lebih besar daripada yang berat). Kini, kasus ironis yang mencoreng lembaga para kiai ini tengah diproses secara hukum di Kejari Bantul. (Sindo, 16 Mei 2007)

Kita mungkin akan bertanya, di mana keindahan dan keharmonisan ukhuwah (persaudaraan dan kebersamaan) yang sempat menghiasi suasana di balik duka gempa DIY-Jateng tahun lalu? Saat itu, mereka laksana satu tubuh, di mana satu anggota sakit maka yang lain ikut merasakan dan bahu membahu mengobatinya. Tapi kini semua berubah. Kecemburuan, kecurangan, dan ketidakadilan, justru menimbulkan ketegangan baru antarwarga atau antara warga dengan perangkat desa.

Kendati demikian, secara umum, dapat dinyatakan bahwa kondisi pascagempa telah kembali normal dan stabil. Aktivitas perekonomian, pendidikan, pemerintahan, dan sebagainya, telah pulih. Bila dibandingkan penanganan korban tsunami di Aceh Desember 2004 lalu atau korban Lapindo yang telantar sampai detik ini, penanganan korban gempa DIY-Jateng relative lebih baik dan berhasil.

Refleksi Spiritual
Membuka kembali kisah pilu setahun lalu, membawa kita pada sebuah refleksi bahwa Tuhan sungguh Maha Kuasa atas segala ciptaan-Nya. Bagi-Nya, dunia kosmos hanyalah debu kecil yang mudah dihancurkan kapan saja sesuai kehendak-Nya. Kesadaran teologis inilah yang mesti dikristalkan dalam dada sehingga menuntun kita untuk selalu mendekat kepada-Nya.

Ironisnya, kesadaran teologis kerapkali hanya berupa ledakan sesaat, yang cepat hilang seiring sirnanya suasana duka akibat bencana. Tuhan hanya dibutuhkan saat bencana melanda. Aktivitas beribadah, berjamaah, membaca Alquran, dzikir, muhasabah, munajat, atau apa pun namanya, hanya menjadi aktivitas insidental di kala duka.

Bagi yang beriman, gempa bumi hendaknya dimaknai sebagai sebuah peristiwa apokaliptik, bukan hanya karena ia merusak begitu banyak bangunan dan gedung, tapi karena ia menyentuh kesadaran dan eksistensi manusia. Tragedi 27 Mei hendaknya dijadikan pelajaran agar selalu menjalin kemesraan dengan Sang Pencipta Alam sebagaimana titah Allah dalam Q.S. Adz-Dzariyat [51]: 56.

Bukan hanya bangunan tahan gempa yang mutlak kita butuhkan, tetapi yang terpenting adalah bagaimana meneguhkan mentalitas tahan gempa. Yaitu, sebuah mentalitas yang dibangun di atas pondasi iman bahwa hanya Tuhanlah yang menggenggam kuasa atas segala kejadian di dunia.

Belajar dari IndiaPemerintah Indonesia harus mulai berpikir jauh ke depan, bagaimana mempersiapkan segala kemampuannya untuk menghadapi bencana alam--khususnya gempa bumi--yang tidak menutup kemungkinan akan terus muncul di kemudian hari.

Jika diminta belajar dari Jepang, mungkin pemerintah kita akan berkelit: "Jepang kan negara maju, sedang kita baru (belajar) berkembang." Kalau demikian, kita bercermin saja pada India yang juga termasuk negara berkembang. Tsunami 2004 lalu dapat diatasi dengan sigap dan cepat oleh India. Bahkan PBB pun memuji sistem mitigasi terpadu mereka.

Sistem mitigasi terpadu meliputi fisik (tata ruang dan kode bangunan) dan non-fisik (pendidikan penanggulangan dan penanganan bencana), termasuk di dalamnya manajemen dan sistem koordinasi yang solid. Upaya mitigasi perlu dilakukan untuk meningkatkan ketahanan dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana alam sehingga risiko bencana terminimalisasi.

Untuk kebutuhan dana mendadak dan besar, India juga menyiapkan Calamity Relief Fund (CRF) dan National Calamity Contingency Fund (NCCF), yaitu dana untuk meringankan korban bencana di semua negara bagian. Dengan CRF dan NCCF ini memungkinkan bagi pemerintah negara bagian dapat cepat memberikan bantuan bila sewaktu-waktu bencana datang menyapa.

----------------------------------------------
Tulisan/opini ini dipublikasikan di harian Solo Pos pada 26 Mei 2007.

0 comments: