ads
Monday, June 25, 2007

June 25, 2007

Menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) memiliki risiko tinggi, sebab hampir selalu karib dengan kekerasan, pelecehan seksual, penindasan, dan penganiayaan yang dilakukan majikan. Tak cukup itu, bahkan ketika masih di Tanah Air (sebelum berangkat ke luar negeri) atau sekembali dari luar negeri mereka dihadapkan pula dengan beragam pemerasan yang mewujud dalam pungutan liar.

Mereka bukan tidak tahu dengan risiko itu. Tapi, karena desakan ekonomi dan tuntutan hidup, maka menjadi TKI adalah solusi instan sekaligus tawaran menggiurkan, setelah negara mereka sendiri (Indonesia) tidak lagi mempesona karena tak bisa menyejahterakan hidup mereka.

Derita TKI seakan tak pernah menemukan titik henti. Di setiap tahun bahkan di setiap putaran waktu, bangsa Indonesia selalu disuguhi berita penganiayaan, pemerkosaan, gaji yang tak terbayarkan, bahkan juga kematian misterius warga negaranya yang tengah mengais rizki menjadi TKI.

Tragedi Ceriyati binti Dapin, pembantu rumah tangga (PRT) asal Brebes Jawa Tengah, adalah kasus yang tengah menghangat saat ini. Ia nekat kabur dari kondominium Tamarind Lantai 15, Sentul, Kuala Lumpur karena tidak tahan dipukuli majikannya, dan selama lima bulan bekerja ia juga tidak pernah mencerap nikmatnya gaji.

Belum surut kasus Ceriyati, kita dikejutkan lagi dengan kepulangan Atikah Manaf, TKI asal Bogor Jawa Barat, dari negeri jiran Malaysia. Atikah pulang dalam keadaan tak lagi bernyawa. Kematian yang misterius! Tapi anehnya, pemerintah terkesan tutup mata dengan kematian warganya ini; tidak ada perlindungan, bantuan, atau juga pembelaan. Begitu pula sang majikan, gampang sekali cuci tangan. Lebih menyedihkan, sisa gaji sebesar Rp 10 juta juga tidak diberikan. (Fokus Pagi Indosiar, 20/6)

Sebelumnya, dua TKI di Amerika juga kabur dari tempat kerjanya setelah dikurung dan disiksa selama lima tahun di Long Island, New York. Cerita mengenaskan juga dialami Yamariah, TKI asal Purworejo, Jawa Tengah. Setelah satu tahun bekerja ia hanya dibayar 6 bulan, dengan nilai 300 dolar Singapura per bulan. Tak hanya itu, Yamariah juga kerap diperlakukan kasar oleh sang majikan.

Sungguh ironis, bukan hanya kekayaan alam kita yang dikuras habis oleh pihak asing, tapi manusianya juga diperlakukan secara aniaya. Entah sudah berapa deret nama anak bangsa yang menjadi korban kekerasan dan ekploitasi di mancanegara.

Pertanyaan bernada kesal pun muncul; mana perhatian, kepedulian, dan tanggung jawab pemerintah terhadap nasib TKI? Bukankah selama ini mereka nyata-nyata telah membantu negara (pemerintah), bukan hanya sebagai ‘pahlawan devisa’ tapi juga mengurangi pengangguran di negeri ini yang semestinya menjadi tanggung jawab negara.

Data Depnakertrans tahun 2006 menyebutkan, perolehan devisa dari pengiriman TKI mencapai tak kurang dari Rp 364.044.194.696 dengan jumlah TKI sebanyak 100.224. Jika pada masa-masa mendatang pemerintah bisa “mengekspor” TKI dengan jumlah lebih besar, maka negara akan menangguk devisa lebih besar pula. Beginilah ironi sebuah negeri “pengekspor TKI”.


Hentikan Ekspor TKI
Ironis memang, meski negara telah mengeluarkan banyak peraturan berkait dengan TKI, semisal Peraturan Menteri (Permen) Tenaga Kerja No 02/Men/1994, Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kepmenaker) No 44/Men/1994, dan Kepmenaker No 204/Men/1999, tapi nyatanya persoalan TKI terus terjadi.

Wajah oportunis negara (pemerintah) jelas terlihat manakala mereka disuguhi deretan angka devisa buah keringat TKI di luar negeri. Pemerintah bangga dan menyanjung TKI sebagai “pahlawan devisa”. Tapi, pemerintah abai dengan hal terpenting yang lebih dibutuhkan TKI dari sekadar sanjungan, yaitu perlindungan kenyamanan kerja.

Anehnya, masalah proteksi atau perlindungan justru diserahkan kepada individu TKI. Pemerintah baru akan bertindak dan sibuk menjadi ‘pahlawan kesiangan’ ketika persoalan TKI sudah mencuat ke tengah publik menjadi kasus yang serius.

Pemerintah semestinya sadar, setiap kasus yang selalu menjadikan TKI sebagai tumbalnya sebenarnya merupakan pameran kemiskinan bangsa ini. Juga sebuah pertunjukan ketidakberdayaan pemerintah melindungi rakyatnya. Pemerintah selalu terlambat bertindak dan lalai mengantisipasi. Pun agen-agen tenaga kerja, ibarat pepatah habis manis sepah dibuang, mereka selalu cuci tangan setelah menerima uang jasa.

Masih ingat Nirmala Bonat? Hampir tiga tahun kasusnya teronggok sia-sia di pengadilan Malaysia. Sampai detik ini pengadilan Malaysia belum mengetukkan palu vonisnya untuk pelaku. Ini menjadi bukti bahwa kondisi kerja dan perlindungan terhadap TKI benar-benar sangat buruk.

Ketua BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) Jumhur Hidayat mengancam akan menghentikan pengiriman TKI jika tragedi serupa masih terjadi. Seriuskah ancaman Jumhur ini? Belum tentu, sebab sebelumnya Jumhur juga pernah berjanji melindungi bahkan menaikkan gaji TKI, tapi janji itu bombastis alias bualan yang tidak pernah terbukti.

Mengapa harus menunggu jatuh korban lagi untuk menghentikan pengiriman TKI? Belum cukupkah tragedi Ceriyati, Atikah, dan sederet kasus serupa yang mendahului, dijadikan pelajaran untuk introspeksi bahwa pemerintah benar-benar telah gagal memproteksi dan memberi advokasi TKI?

Jika masih mempunyai rasa malu, semestinya pemerintah tak perlu lagi mengirim TKI ke luar negeri. Dengan konsekuensi, pemerintah harus berani menjamin kesejahteraan rakyat dengan membuka lapangan kerja seluas-luasnya di dalam negeri, didukung gaji yang sama pantasnya seperti di luar negeri.

--------------------------------------------
Tulisan/opini ini dipublikasikan di Koran Merapi pada, Sabtu 23 Juni 2007.

0 comments: