ads
Tuesday, June 19, 2007

June 19, 2007
Lukman Alhakim adalah seorang yang arif bijaksana, tidak pernah berperilaku buruk, bahkan
ucapannya selalu sejuk. Apa yang keluar dari bibirnya adalah kebijaksanaan. Ia tidak pernah mengucapkan sesuatu pun, kecuali hal-hal yang mulia, penuh hikmah dan makna. Secara sosial, statusnya memang hanyalah seorang budak. Tetapi, di hadapan Allah ia sungguh mulia. Tak berlebihan, Allah mengabadikan namanya dalam kitab suci Al-Qur’an agar menjadi teladan bagi umat manusia.

Alkisah, suatu hari tuannya menyuruh Lukman agar menyembelih beberapa ekor kambing untuk sebuah keperluan. ''Lukman, ambilkan untukku dua bagian yang terbaik dari daging-daging itu,'' pinta tuannya. Sejurus kemudian Lukman datang dan menyerahkan potongan hati dan lidah.

''Sekarang, ambilkan untukku bagian yang terburuknya,'' pinta tuannya lagi. Lukman bergegas menjalankan titah. Tak berapa lama ia kembali menghadap dengan menggenggam apa yang diminta tuannya. Ternyata, lagi-lagi ia menyodorkan potongan hati dan lidah. ''Apa maksudmu dengan semua ini, Lukman? Mengapa yang terbaik dan terburuk sama bentuknya?'' tanya sang tuan keheranan.

Lukman menjawab, ''Tuan, kedua bagian ini adalah pusat segalanya. Jika kedua bagian ini sudah baik, maka tidak ada lagi yang lebih baik dari keduanya. Sebaliknya, jika kedua bagian ini buruk, maka tidak ada lagi yang lebih buruk dibandingkan dengan keduanya.''

Jawaban Lukman tersebut adalah tamtsil (perumpamaan), bahwa baik dan buruk manusia ditentukan oleh dua bagian itu, yakni hati dan lisan. Baik dan buruk isi hati kita, baik dan buruk ucapan kita, sangat menentukan citra kemanusiaan kita di hadapan orang lain. Bahkan keutuhan dan keharmonisan sebuah keluarga, masyarakat, atau negara, juga sangat ditentukan oleh bagian itu.

Tentang hati, Rasulullah telah bersabda, "Sesungguhnya dalam jasad manusia ada segumpal daging. Jika ia baik maka baiklah seluruh anggota tubuh. Namun, jika ia rusak maka rusaklah seluruh anggota tubuh manusia. Ingatlah, bahwa ia adalah hati."

Hati yang teduh akan melahirkan perilaku yang santun, belas kasih, menghargai orang lain, serta khusyuk dalam bermesraan (beribadah) dengan Allah SWT. Sementara hati busuk akan melahirkan perilaku pongah, keras hati, menganggap rendah orang lain, serta semakin jauh dari kasih sayang Allah SWT.

Tentang lisan, Nabi SAW seringkali mewanti-wanti agar menjaganya dengan sungguh-sungguh karena ia paling berpotensi mencelakakan manusia. Bukhari-Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwa Nabi SAW telah bersabda, ''Siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka berbicaralah yang baik atau (jika tidak bisa) diam saja."

Berkaitan dengan hadits tersebut, Imam Nawawi berkomentar, "Maksud hadits ini jelas, yaitu agar seseorang tidak mengeluarkan kata-kata kecuali yang baik, yakni perkataan yang ada manfaatnya, tahu kapan perlu berbicara dan kapan tidak perlu berbicara. Menurut Sunnah, seseorang hendaknya menahan diri dari banyak bicara. Sebab, perkataan yang asalnya mubah terkadang bisa menjurus kepada makruh atau bahkan haram. Yang demikian ini banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Betapa mahal harga sebuah keselamatan (lisan)."

Agaknya dari ajaran Nabi ini dapat kita tarik satu prinsip fundamental dan implementatif, bahwa baik dan buruk seseorang bisa dilihat dari ketangguhannya menjaga lisan, seberapa jauh mereka bisa menepati janji, tidak melukai perasaan orang lain, tidak besar kepala dengan perkataannya, serta konsisten antara apa yang ia ucapkan dan perbuatan yang ia lakukan.

-----------------------------------------------------------------------
Tulisan ini dipublikasikan di koran Bernas Jogja (kolom Fadhilah Jumat) pada 25 Mei 2007.

NB. Tentang Lukman al-Hakim, para ulama berbeda pendapat. Apa yang menyebutnya nabi. Ada yang berpandangan bahwa dia bukan nabi, melainkan seorang yang arip dan penuh ilmu hikmah.

0 comments: